Kulon Progo, 25 Oktober 2025 – Pemanfaatan geoheritage sebagai bagian dari pengembangan pariwisata berkelanjutan kembali menjadi sorotan dalam diskusi strategis yang menyoroti potensi kawasan Menoreh dan sekitarnya.
Kegiatan ini dilaksanakan di Lapangan Boro Banjarasri, Kulon Progo dan dihadiri oleh Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Borobudur, Agustin Peranginangin secara langsung.
Trilogi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi landasan kuat dalam mewujudkan visi tersebut. Upaya ini tidak hanya memperkuat identitas budaya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kebijakan pembangunan dapat berpihak pada kelestarian lingkungan.
Muhammad, salah satu narasumber dari Departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM, menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki potensi luar biasa sebagai destinasi wisata berkelanjutan.

“Sustainable tourism bukan sekadar tren, melainkan salah satu modal utama pengembangan wisata yang berbasis pada nilai edukasi dan keseimbangan alam,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat telah memiliki kesiapan dan kesadaran dalam menjadikan geoheritage sebagai sumber ekonomi hijau yang berpijak pada pendidikan dan pelestarian.
Sementara itu, Paniradya Pati Keistimewaan, Aris Eko Nugroho, memaparkan bahwa kawasan perbukitan Menoreh, khususnya di Kabupaten Kulon Progo, memiliki potensi besar yang sudah terpublikasikan dengan baik.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2025–2029, wilayah ini akan dibagi menjadi tiga kawasan strategis dengan tema utama pariwisata berkelanjutan. Kawasan Menoreh kini telah ditetapkan sebagai bagian dari Geopark Jogja, yang mencakup lima geosite dan satu biosite—semuanya berada di perbukitan Menoreh.
“Yogyakarta dianugerahi potensi alam yang luar biasa. Alam jangan sampai membenci kita, justru harus harmonis dengan manusia. Jika alam terjaga, maka masyarakat pun akan berdaya,” ujar Aris penuh makna.
Baca Juga : BiosfeRun 2025 Hadirkan Event Lari Internasional di Perbukitan Menoreh
Pernyataan ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian alam.
Lebih lanjut, Nunik Dwi Andriyanti selaku narasumber dari Geotrek Yogyakarta menekankan pentingnya kemampuan storytelling dalam memaknai dan menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam geoheritage.
Menurutnya, setiap situs memiliki kisah yang perlu dikontekstualisasikan agar dapat memberi makna dan daya tarik lebih bagi wisatawan.
“Melalui pendekatan “what to see, what to do, and what to learn”, wisata diharapkan tidak hanya menawarkan keindahan visual, tetapi juga nilai edukatif dan spiritual bagi pengunjung.”, tambahnya.
Selain itu, kolaborasi pentahelix—yang melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat, pelaku usaha, dan media—menjadi kunci penting dalam memperkuat branding dan promosi kawasan geoheritage.
Sejalan dengan hal itu, Agustin Peranginangin menambahkan bahwa pariwisata berbasis geopark merupakan wujud nyata dari pembangunan wisata yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Dengan menjadikan pelestarian lingkungan sebagai fondasi, sektor pariwisata dapat tumbuh selaras dengan alam, memperkuat identitas daerah, dan membuka jalan bagi terciptanya ekonomi hijau yang inklusif.
“Inilah saatnya pariwisata tidak sekadar mengunjungi tempat, tetapi juga merawat bumi dan menghidupkan nilai-nilai kehidupan,” tutupnya.
Divisi Komunikasi Publik
Badan Pelaksana Otorita Borobudur





