CEO Message #59
Millennial (Friendly) Tourism “Who wins the future, wins the game”
Bulan Oktober lalu, saya meminta Asisten Deputi Bidang Manajemen Strategis untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang generasi milenial. Ada tiga seri FGD yang telah dilaksanakan dengan topik dan pembicara yang berbeda-beda yaitu Prof. Rhenald Kasali, Pak Hermawan Kartajaya dan para pemain di industri. Saya menginginkan FGD ini mempunyai hasil yang konkret dalam bentuk rencana aksi yang bisa langsung dieksekusi tahun depan. Menatap tahun 2019, dengan target 20 juta wisman saya menargetkan separuhnya atau 10 juta wisman adalah dari segmen milenial.
Seperti kita ketahui, generasi milenial telah menjadi segmen primadona dalam semua industri. Kehadiran segmen ini sangat signifikan mengubah lanskap bisnis, termasuk pariwisata. Oleh karenanya, saya merasa Kemenpar perlu lebih serius membuat perencanaan strategis untuk membidiknya
Pada FGD yang pertama, Prof. Rhenald sebagai akademisi jempolan memaparkan perihal lanskap industri yang terkait dengan generasi milenial, dengan output akhir rekomendasi model bisnis yang bisa dikembangkan di destinasi. Prof. Rhenald menggarisbawahi bahwa milenial bukan lagi menginginkan leisure, tapi lebih dari itu, mereka butuh untuk diakui atau istilahnya esteem needs.
Seri kedua FGD diisi oleh Pak Hermawan Kartajaya, sang mahaguru marketing. Sebagai pakar kelas dunia, beliau memaparkan bagaimana strategi menggarap segmen yang ‘seksi’ ini. Pak Hermawan menekankan, untuk bisa membuat strategi yang efektif kita harus memahami karakteristik milenial, dimana beliau mengelompokkan segmen ini ke dalam 4 kategori yaitu digital savvy, advocator, experience-oriented dan adventure-seeker.
Selanjutnya pada FGD yang ketiga, kita mengundang para pemain di industri pariwisata yang telah sukses menggarap segmen ini. Diantaranya adalah Expedia, Grab, Traveloka, Airy Room, Bobobox hingga GenPI. Saya meminta mereka berbagi pengalaman bagaimana menggarap generasi ini.
Esteem Needs
Seperti yang dikatakan Prof. Rhenald, generasi milenial kebutuhannya adalah esteem needs,
atau ingin diakui. Sehingga menurut sebagian dari kita generasi di atasnya, mereka terlihat aneh. Contohnya, mengapa sekarang semua destinasi digital menjadi trending topic, karena mereka memang berkebutuhan untuk mendapatkan pengakuan.
Mengapa mereka menyukai destinasi yang relatif baru? Karena mereka ingin diakui sebagai orang pertama atau sebagian kecil yang telah mengunjungi destinasi itu. Karenanya wisata petualangan (adventure) jadi ramai, atau wisata olahraga seperti maraton semakin digemari.
Mereka juga sangat digital. Malah saya berani mengatakan, kalau tidak digital, bukanlah milenial. Karenanya akan sulit memenuhi kebutuhan milenial kalau kita tidak menyediakan platform digital. Saya merumuskan platform digital yang end-to-end dengan strategi kolaboratif sebagai berikut:
Collaborative Strategy
The More Digital, The More Personal
Saya sering mengatakan bahwa the more digital, the more personal. Karena mereka adalah generasi yang sangat digital, maka mereka akan sangat personal. Sehingga
mengelompokkan mereka ke dalam segmen-segmen bukanlah cara yang tepat. Istilahnya bukan lagi segmentasi, tetapi saya bilang adalah personalization atau personalisasi. Karena
dengan digital kita bisa mengetahui mereka satu-persatu secara presisi.
Hal ini bisa dibuktikan saat kita melakukan strategi competing destination model (CDM), semacam programmatic advertising. Ketika beberapa bulan yang lalu saya berkunjung ke Shanghai, saya bertemu dengan Zamplus Tech, sebuah perusahaan IT berbasis big data. Di depan saya mereka mendemokan tahapan travelling journey.
Awalnya mereka membuka C-Trip, mencari diving spot yang terbaik di dunia. Sengaja tahap tersebut tidak diselesaikan, baru look, belum sampai book dan pay. Selanjutnya mereka membaca portal berita lokal, dan apa yang terjadi? Muncul pop-up iklan berbagai diving spot di Indonesia. Inilah yang saya sebut sangat personal.
Hal ini dimungkinkan sekarang dengan adanya big data. Istilahnya adalah market of one atau personalization, tidak dikelompokkan lagi, tetapi langsung menuju unit terkecil customer. Karenanya, saya menyebutnya sebagai paradoks dimana “segmentasi terbaik adalah tidak mensegmentasi”.
Big and Loud
Generasi milenial jumlahnya sangat besar. Saya cukup surprise, 50% inbound traveller ke Indonesia kategori umurnya adalah milenial. Datanya mungkin sedikit salah, tapi kalaupun salah 10%, itu masih cukup besar. Dan mereka suaranya sangat lantang di media khususnya media sosial. Dengan jumlah yang besar dan bersuara kencang, mereka adalah customer yang sangat penting.
Kemudian, saya bertanya kepada diri sendiri, pernahkah kita berpikir bahwa iklan-iklan TVC yang kita produksi itu sudah millennial-friendly? Jawabannya adalah tidak pernah. Saya merasa sangat egois, iklan kita sangat product-oriented hanya menampilkan produk-produk (destinasi) yang kita punya, atau istilahnya masih “Marketing 1.0”.
Saya tidak mempedulikan apakah iklan itu disenangi milenial atau tidak. Namun, ternyata (iklan) yang viral di milenial justru saya tidak menyukainya. Saat FGD ketiga kemarin terpaksa saya putar video berjudul Bali Cheap Paradise yang viral itu. Video seperti itulah yang disenangi anak-anak muda ‘gila’ itu.
Ada customer yang besar dan lantang, tetapi saya tidak peduli. Kita harus melakukan penataan ulang secara mendasar, apakah bahasa kita sudah sama dengan bahasa customer utama kita. Jadi, selain platform digital, harus disediakan juga kontennya. Mereka sudah tidak menonton TV, namun saya membayangkan iklan kita muncul di TV, sangat tidak nyambung.
Lalu ada pertanyaan lagi, apakah kita sudah membangun destinasi berdasarkan kebutuhan milenial? Akhirnya jadi terbalik-balik, kita mengklaim destinasi digital, nomadic tourism itu sebenarnya untuk milenial. Sama halnya dengan calendar of events (CoE) yang kita dukung, saya tanya ke Bu Esthy sebagai Ketua Pelaksana CoE, dari top of mind 100 CoE mana yang sudah didesain untuk milenial? Karenanya saya menginstruksikan 20% event di CoE 2019 sudah harus millennial-friendly. Atau bahkan buat tim kurator tersendiri yang saya sebut Tim Kurator Millenial khusus untuk Calendar of Events (CoE) untuk Millenial.
Wins the Future
Generasi ini selalu berorientasi pada masa depan, maka berikanlah masa depan itu pada saat ini. Karena anak-anak ini lahir sekarang, tapi kebutuhannya ada di masa depan,
sehingga datangkanlah (masa depan) itu sekarang. Akhirnya saya tulis, “who wins the future,
wins the game”. Diperlukan pengembangan strategi marketing khusus sebagai suatu inisiatif untuk mengkapitalisasi potensi industri pariwisata ke depan.
Contohnya ketika kita membaca koran dengan konten orang dewasa, biasanya disisipkan lembaran-lembaran remaja untuk menyasar customer masa depan itu. Saya meyakini, kalau
koran itu tidak diberi sisipan (konten) remaja, maka akan ditinggalkan. Sama halnya jika kita tidak menawarkan masa depan itu sekarang.
Customer-Centric Organization
Sekarang yang berat tetapi kita sadar harus masuk adalah pendekatan ke arah customer- centric. Sulitnya adalah mulai dari segmen yang bukan segmen. Kalau strategi berubah secara mendasar dari product-centric ke customer-centric yang mengarah ke millennial- friendly, maka organisasinya juga harus berubah. Seperti yang sering saya katakan, “structure follows strategy”.
Tetapi saya tidak berani melakukannya sekarang, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa restrukturisasi organisasi di pemerintahan membutuhkan waktu yang sangat lama dan berbelit-belit. Hal terberat yang bakal saya hadapi adalah tidak mungkin mengubah organisasi dalam waktu yang singkat, tinggal sisa satu tahun.
Sekali lagi, karena strategi berubah, maka struktur organisasipun harus berubah: “structure follows strategy”. Strategi ada di level customer, baru kemudian kita bicara tentang organisasi, people dan culture. Terjadi perubahan mendasar karena perubahan pada level customer.
Salam Pesona Indonesia !!!
Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.