Sentra Kerajinan Kulit Pucung Bantul, Desa Wisata Penghasil Wayang di Jogja
Sentra kerajinan kulit Pucung Bantul merupakan salah satu tempat wisata yang ada di Yogyakarta. Memang, dibandingkan tempat-tempat wisata lainnya, tempat yang satu ini memang kurang dikenal. Tidak heran, jika pemerintah beserta masyarakat setempat berusaha mengembangkan daerah ini sebagai alternatif desa wisata di masa depan.
Nama desa tempat sentra kerajinan kulit ini adalah Pucung. Banyak sekali kerajinan dari kulit yang dihasilkan di Pucung. Namun khususnya, Pucung lebih banyak menghasilkan kerajinan wayang kulit. Untuk alamat lengkapnya, sentra ini berlokasi di Dusun Karangasem, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kerajinan Tatah Sungging Kulit
Sebenarnya, nama yang lebih tepat untuk jenis kerajinan kulit adalah kerajinan tatah sungging kulit. Apa maksudnya? Tatah disini memiliki arti memahat. Sementara itu, sungging bisa didefinisikan sebagai kerajinan mewarnai material kulit. Di Pucung, media yang digunakan sebagai kerajinan tatah sungging adalah kulit sapi atau kulit kerbau. Setelah ditata dan disungging, kulit-kulit ini nantinya akan dikembangkan menjadi benda kerajinan tangan, khususnya wayang kulit.
Sejarah Sentra Kerajinan Pucung
Sentra kerajinan kulit di daerah Pucung memiliki sejarah yang panjang. Semuanya bermula di tahun 1917 saat seorang pria yang dikenal sebagai Mbah Atmo Karyo atau Mbah Gembloh, Lurah dari desa Pucung, yang nantinya berubah nama menjadi Dusun Karangasem memiliki kedekatan dengan pengusaha Yogyakarta pada saat itu, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Beliau dilantik menjadi lurah melalui pelatihan dari Panewon atau pengusaha setingkat Kecamatan. Karena Panewon ini berkaitan secara langsung dengan pihak Keraton, maka secara tidak langsung, seorang lurah seperti Mbah Gembloh juga adalah seorang Abdi Dalem Keraton. Nah, salah satu tugas beliau pada saat itu adalah menjaga koleksi wayang di Keraton. Berikutnya, beliau tertarik membuat wayang sendiri dibantu oleh beberapa orang tetangganya.
Awalnya, wayang-wayang buatan Mbah Gembloh hendak dibawa ke keraton. Akan tetapi, beberapa orang Belanda tertarik dengan wayang-wayang tersebut dan kemudian membeli semuanya. Tidak hanya itu, seorang pengusaha Batik terkenal pada saat itu juga menyukai wayang-wayang Mbah Glemboh dan memutuskan membelinya.
Bertahun-tahun, Mbah Gembloh membuat wayang-wayang tersebut beserta tetangga dan keluarganya. Hingga tahun 1970, PT. Sarinah, BUMN di Jakarta juga tertarik untuk membeli produk-produk wayang Desa Pucung dalam jumlah besar. Hingga sekarang, para penduduk disana masih meneruskan usaha Mbah Gemblih dalam memproduksi dan menjual wayang-wayang tersebut hingga ke luar daerah.
Lebih Dari 800 Perajin Wayang
Saat ini, Pucung merupakan rumah dari sekitar 830 perajin wayang lokal. Mereka bernaung di dalam 51 industri kerajinan kecil dan menengah (IKM). Tidak heran, jika dalam sebutan, Pucung mampu menghasilkan hingga 5000 wayang kulit siap jual. Tidak hanya itu, sentra kerajinan di Bantul ini juga menjual berbagai produk kerajinan tangan lainnya berbahan dasar kulit seperti kipas, kap lampu, hiasan dinding, dan gantungan kunci.
Yang menarik dari industri wayang kulit di Pucung adalah adanya klasifikasi produk berdasarkan kualitasnya. Klasifikasi itu meliputi wayang kulit dengan kualitas halus, sedang, dan kasar. Tentu saja, semakin halus wayang yang dihasilkan, artinya kualitasnya semakin bagus dan harganya juga semakin mahal.
Berkualitas Ekspor
Tidak heran jika masyarakat sangat “betah” mengeluarkan usaha kerajinan ini. Harga yang ditawarkan oleh setiap wayang kulit bahkan menembus angka ratusan juta rupiah. Selain dijual langsung kepada para wisatawan, kerajinan tangan yang satu ini juga diekspor ke beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Australia, dan Selandia Baru. Nah, saat berkunjung ke Yogyakarta, apakah Anda tertarik mengunjungi sentra kerajinan kulit Pucung Bantul?